29 November 2025
Sejarah souvenir pernikahan adalah perjalanan panjang tentang bagaimana manusia merayakan cinta, status sosial, dan rasa syukur melalui sebuah hadiah kecil. Tradisi ini tidak muncul sekaligus; ia tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan budaya yang berbeda, lalu berevolusi mengikuti teknologi, ekonomi, dan gaya hidup masyarakat.
Jejak pertama tradisi ini paling jelas terlihat di Eropa sekitar abad ke-16.
Ketika industri gula mulai berkembang tetapi masih sangat mahal, kalangan bangsawan Prancis dan Italia memperkenalkan bonbonniere: kotak kecil dari porselen, gelas kristal, atau logam berukir, berisi gula atau permen manis. Pemberian ini tercatat sebagai simbol status dan penghormatan dalam ritual sosial bangsawan [Anderson, 2012; Bremmer & Roodenburg, 1995]. Karena gula adalah barang mewah, membagikannya berarti menunjukkan kemakmuran keluarga.
Di Italia, tradisi ini berkembang menjadi confetti atau Jordan almonds—lima butir almond yang diselimuti gula. Setiap butir membawa simbol: kesehatan, kebahagiaan, kesuburan, kemakmuran, dan panjang umur. Tradisi simbolik ini kemudian menyebar ke Yunani dan berbagai wilayah Mediterania lain. Dalam literatur perayaan Eropa, Jordan almonds disebut sebagai fondasi konsep modern wedding favors [Cleveland, 2013].
Abad ke-17 hingga ke-19 membawa perubahan besar.
Saat Revolusi Industri menurunkan harga gula dan meningkatkan produksi barang kerajinan, souvenir pernikahan tak lagi terbatas untuk bangsawan. Kelas menengah Eropa—khususnya Inggris pada Era Victoria—mulai membagikan kotak renda, pita, miniatur porselen, hingga bunga kering sebagai bentuk “terima kasih” kepada tamu. Evolusi ini dicatat dalam kajian budaya material sebagai pergeseran dari simbol status menjadi simbol afeksi sosial [Miller, 2015].
Souvenir menjadi lebih personal, lebih dekoratif, dan semakin terjangkau.
Sementara itu, di Asia, tradisi hadiah pernikahan berkembang dengan konteks yang berbeda.
Di Tiongkok, praktik memberi xi bing (kue pernikahan) sudah ada jauh sebelum pengaruh Barat masuk. Xi bing tidak hanya hadiah; ia menandai pengumuman resmi pernikahan dan menjadi media penyampai doa keluarga kepada para kerabat [Chen, 2016; Liu, 2007].
Di Jepang, tradisi hikidemono menjadi salah satu bentuk hadiah pernikahan paling formal di Asia Timur. Berupa kerajinan berkualitas, peralatan makan, atau barang simbolik yang dianggap membawa keberuntungan. Hikidemono dipahami sebagai representasi rasa hormat keluarga kepada tamu, bukan sekadar kenang-kenangan [Ishii, 2010].
Asia Timur umumnya memandang hadiah sebagai bagian dari etika dan harmoni sosial dalam perayaan keluarga.
Di Asia Tenggara, khususnya Nusantara, sejarah souvenir membentang dalam bentuk “berkat” atau bingkisan makanan.
Kajian antropologi menunjukkan bahwa budaya memberi makanan kepada tamu merupakan praktik yang menekankan kebersamaan dan rasa syukur pada berbagai etnis: Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Melayu, Bali [Geertz, 1980; Farrer, 2002].
Berkat tidak memiliki bentuk estetik seperti souvenir modern; yang penting adalah makna: berbagi rezeki dan menjaga hubungan sosial.
Berkat adalah salah satu tradisi tertua dalam konteks hadiah pernikahan di Indonesia.
Masuk ke abad ke-20, khususnya 1970–1990-an, Indonesia mulai mengenal bentuk souvenir modern.
Perubahan pola konsumsi, pertumbuhan industri plastik dan logam ringan, serta pengaruh pernikahan Barat membuat souvenir mulai muncul dalam bentuk kipas, gantungan kunci, miniatur hiasan, hingga kalender kecil.
Tren ini tercatat dalam kajian industri pernikahan Indonesia sebagai fase awal komersialisasi acara pernikahan [Sutanto, 2018].
Namun fungsinya masih dekoratif dan simbolik; belum masuk kategori produk fungsional.
Memasuki era 2000–2015, transisi besar terjadi.
UMKM mulai berkembang, marketplace hadir, dan produk handmade menjadi tren. Souvenir tidak lagi hanya dekoratif, tetapi harus fungsional: tas kain, pouch, lilin aromaterapi, sabun handmade, mug, tumbler.
Generasi muda menginginkan sesuatu yang bermanfaat dan mencerminkan kepribadian mereka. Pergeseran ini sesuai dengan analisis budaya konsumsi modern yang menunjukkan kecenderungan ke arah produk praktis dan personal [Miller, 2015].
Tahun 2016–2025 membawa gelombang baru: era souvenir premium dan personalisasi mendalam.
Tren Asia Tenggara mencatat peningkatan permintaan terhadap souvenir eco-friendly, bahan natural, desain minimalis, dan kualitas pengerjaan yang lebih baik [Tan, 2019].
Di Indonesia, UMKM lokal mulai menciptakan pouch premium, kain tenun modern, motif salur, serta hampers kecil yang disesuaikan tema acara.
Pasangan memilih souvenir bukan hanya sebagai tanda terima kasih, tetapi sebagai bagian dari estetika acara pernikahan secara keseluruhan.
Di sinilah SJI hadir, membawa tradisi panjang itu ke dalam produk modern yang rapi, premium, dan relevan.
SJI menggabungkan semangat bonbonniere Eropa, nilai simbolik hadiah Asia, serta akar budaya berkat Indonesia ke dalam karya yang dapat dipakai sehari-hari.
Setiap pouch salur dan tenun dikerjakan dengan standar kualitas yang konsisten, memperhatikan detail, dan dirancang menjadi kenang-kenangan yang tidak hanya disimpan, tetapi juga digunakan dan disukai.
Sejarah menunjukkan bahwa souvenir selalu lebih dari sekadar benda.
Souvenir adalah ungkapan terima kasih yang diberikan dengan tulus—dan SJI hadir untuk membentuk ulang tradisi itu menjadi sesuatu yang bermakna bagi setiap tamu dan setiap pasangan.