27 November 2025
Pernah nggak kamu ikut acara kampung, misalnya selamatan desa, sedekah, “bersih desa”, atau arisan lingkungan? Tradisi-tradisi seperti itu bukan cuma soal adat — mereka juga wujud nyata semangat gotong royong dan berbagi antarsesama di Jawa Timur. Nilai-nilai seperti guyub rukun, saling bantu, dan kebersamaan masih kuat, meskipun zaman modern sudah sangat maju.
Salah satu contoh nyata: tradisi Sedekah Bumi di beberapa wilayah di Jawa Timur, termasuk di kota besar — misalnya di sebuah RW di Surabaya. Dalam acara ini, warga bersama-sama mengadakan arak-arakan sambil membawa “tumpeng raksasa” berisi hasil bumi dan makanan, lalu membagikannya kepada semua warga. Selain itu, mereka menghidupkan kembali pertunjukan tradisional, seperti pagelaran wayang kulit dan kesenian kuda lumping, sebagai ungkapan syukur bersama atas rezeki, keselamatan, dan kebersamaan. (Sumber: Radar Jatim)
Tradisi seperti Sedekah Bumi (dan banyak ragam serupa: larung sesaji, selamatan desa, bergotong-royong saat hajatan, panen, pembangunan rumah, dsb) memperlihatkan bahwa semangat “berbagi tenaga, rezeki, kebersamaan” bukan sekadar nostalgia — mereka hidup nyata dalam komunitas, menjaga ikatan sosial, dan memperkuat identitas bersama.
Di tengah riuh tradisi gotong-royong dan budaya berbagi di Jawa Timur, ada satu potensi lokal yang kerap terlupakan: kerajinan rotan. Di kota seperti Balearjosari, Malang misalnya — sebuah area yang dikenal sebagai sentra industri kerajinan rotan — komunitas pengrajin masih mempertahankan semangat kebersamaan: saling bantu, berbagi ketrampilan, dan bersama-sama menghasilkan furnitur atau souvenir dari rotan. (Sumber: Diskompindag Malang)
Sentra-sentra seperti ini menegaskan bahwa rotan bukan sekadar bahan baku lama: ia menjadi medium nyata untuk kerja kolektif, pemberdayaan ekonomi lokal, dan gaya hidup ramah lingkungan — tepat di jantung budaya berbagi Jawa Timur.
Rotan sebagai bahan alami punya arti besar dalam semangat hidup komunitas dan juga keberlanjutan lingkungan. Menurut literatur tentang rotan dan industri pengolahannya, rotan termasuk hasil hutan non-kayu yang punya nilai ekonomis tinggi — bukan hanya sebagai furnitur, tapi juga sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar hutan, terutama di daerah penghasil rotan. (Sumber: Academia)
Secara karakteristik, batang rotan kuat, fleksibel, dan bisa dipotong atau dibelah untuk menghasilkan anyaman atau material yang kemudian diolah menjadi kursi, keranjang, meja, rak, dan berbagai perabot — dari kebutuhan rumah tangga sampai dekorasi. (Sumber: Detik)
Bagaimana kalau kita bayangkan tradisi gotong-royong dan saling membantu di Jawa Timur dikombinasikan dengan kerajinan rotan dan semangat keberlanjutan? Berikut beberapa ide nyata — dan kenapa ini relevan sekarang:
Kerajinan kolektif / komunitas
Misalnya, sekelompok warga/teman/komunitas di kota atau desa bisa bersama-sama membuat produk dari rotan — kursi, keranjang, rak, hiasan rumah. Prosesnya bisa beres — ada yang “motong”, ada yang “anyam”, ada yang “finishing” — persis seperti gotong royong tradisional. Setelah jadi, produk bisa dibagi (sebagai hadiah, sedekah), atau dijual bersama. Ini jadi medium berbagi tenaga, kreativitas, rezeki — dan kebersamaan.
Eco-friendly & kesadaran lingkungan
Karena rotan adalah bahan alami dan bisa diolah tanpa plastik atau bahan kimia berat, kerajinan rotan bisa dijadikan alternatif sustainable. Dengan membuat/ memakai produk berbahan rotan, kita ikut mendukung gaya hidup ramah lingkungan. Ini selaras dengan nilai “hidup berkelanjutan, berbagi dengan alam dan sesama”.
Pelestarian tradisi & nilai sosial melalui inovasi
Rotan mungkin bukan “barang baru”, tapi dengan desain modern — misalnya furnitur rotan minimalis, rak rotan untuk lilin aromaterapi (sesuai minatmu), hiasan rumah eco-chic — kerajinan ini bisa menyasar generasi muda, pasar urban, mahasiswa, atau orang yang peduli estetika dan lingkungan. Sehingga tradisi, kearifan lokal, dan nilai gotong-royong bisa “disulap” jadi gaya hidup modern.
Pemberdayaan komunitas & ekonomi lokal
Bila komunitas di Jawa Timur (atau di mana pun) mulai mengorganisir kerajinan rotan secara kolektif — misalnya komunitas mahasiswa, kelompok ibu-ibu, komunitas seni, komunitas lingkungan — maka hasilnya bukan hanya produk, tapi juga penghasilan bersama, solidaritas, dan rasa memiliki terhadap komunitas serta lingkungan.
Dalam dunia yang makin cepat, kadang kita lupa bahwa kehidupan manusia butuh kebersamaan, kepedulian, dan rasa saling memiliki. Dengan menggabungkan budaya berbagi ala Jawa Timur, kerajinan alami seperti rotan, dan semangat eco-friendly, kita bisa membangun gaya hidup yang lebih manusiawi, lestari, dan bermakna.
Terima Kasih, Gaess!